Dekonstruksi




Dekonstruksi Konsep Kepahlawanan dalam Dongeng-Dongeng Anak
Budaya merupakan hal yang setiap waktu berkembang di masyarakat. Budaya meliputi banyak hal yang berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari, dengan budaya biasanya manusia mencoba selalu menciptakan hal baru dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Atau bahkan memahami sesuatu menjadi lain daripada yang dianggap lain juga oleh masyarakat. Konsep yang diketahui oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan adalah hasil ciptaan budaya. Artinya, tidak ada hal yang natural atau alami dalam kehidupan masyarakat di dunia. Segala sesuatunya ditentukan atas dasar kesepakatan atau konvensi yang ada di dalam masyarakat, sementara suatu objek yang disepakati tersebut dipilih karena mengandung dominasi kebenaran atas objek-objek lain yang menjadi pesaingnya.
Keberadaan objek atau subjek yang dominan telah terlebih dahulu mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai sesuatu yang dianggap benar (logosentrisme). Hal tersebut menyebabkan oposisi yang semula biner akhirnya menjadi hierarki. Oposisi hierarki yang ada dan berkembang dalam masyarakat hingga saat ini adalah hasil warisan struktur yang telah berdiri selama ratusan tahun. Oposisi-oposisi tersebut misalnya baik dan buruk, pahlawan dan pencundang, cantik dan jelek, pintar dan bodoh, ataupun jujur dan bohong. Konstruksi struktur masyarakat hanya terpaku terhadap pemahaman yang baik, yang mereka ambil adalah kebenaran sifatnya yang lebih tinggi dan lebih dihargai dibandingkan unsur oposisinya. Sedangkan tentang pemahaman yang buruk, mereka buang dan tidak dibahas sama sekali. Karena menurut mereka, sesuatu yang baik atau dianggap baik yang bisa menjadi contoh dalam kehidupan bermasyarakat sehingga masyarakat tersebut makin berkembang dan menciptakan hal-hal baru.
Pemahaman semacam itu adalah pemahaman para strukturalis, yang telah mendarah daging dalam benak masyarakat. Segala sesuatu dipandang pasti dan memiliki makna di dalamnya. Ferdinand de Saussure, menyatakan bahwa suatu penanda pasti memiliki petanda yang hanya miliknya sendiri. Semuanya serba pasti dan terstruktur, hingga berujung pada kebutuhan untuk membuat oposisi-oposisi biner dalam kehidupan manusia agar tercipta struktur mengenai mana yang lebih penting atau lebih tinggi dibandingkan yang lain. Namun kemudian muncul paham pasca-strukturalisme yang menentang paham yang ada sebelumnya. Hubungan antara penanda dan petanda tidaklah pasti. Hubungan tersebut bisa berarti memiliki makna yang lain tergantung bagaimana seseorang melihat suatu penanda dan petanda dari sudut pandang mereka.
Salah satu tokoh yang menentang hal tersebut adalah Jacques Derrida. Filsuf ini begitu mempengaruhi pemikiran global selama seratus tahun terakhir dengan bidang pembahasan yang luas dan menyeluruh di hampir segala bidang. Derrida lahir di Aljazair, 12 Juli 1930, selanjutnya pindah dan tinggal di Perancis. Orang tuanya bernama Aime Derrida dan Georgette Sultana Esther Safar. Sejarah intelektualnya dimulai ketika dia belajar di Ecole Normale Superiure hingga mengajar di sana sebagai dosen tetap bidang filsafat. Namun, Derrida sempat juga mengajar sebagai dosen tamu di Yale University, Amerika Serikat. Derrida muda pernah juga menjadi anggota Partai Komunis Perancis. Derrida adalah seorang keturunan Yahudi. Ia pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Pada tanggal 9 Oktober 2004, ia meninggal dunia pada usia 74 tahun karena menderita penyakit kanker.
Derrida juga termasuk filsuf yang banyak menghasilkan karya, termasuk terjemahan karangan Husserl yang berjudul Asal Usul Imu Ukur. Tahun 1967, Derrida menerbitkan tiga buku sekaligus yaitu L’ecriture st la difference (Tulisan dan Perbedaan) dan De la grammatologie (Tentang Gramatologi) merupakan kumpulan karangan yang sebagian besar sudah diterbitkan dalam berbagai majalah. Sedangkan judul buku yang ketiga adalah La voix et le Phenomene, Introduction au probeme du signe dans la phenomenologie de Husserl (Suara dan fenomena) yang secara panjang lebar banyak memberikan komentar terhadap uraian Husserl tentang tanda dalam penelitian logika.
Di sisi lain, latarbelakang pemikiran Derrida sangat dipengaruhi oleh filsuf Edmund Husserl dan ahli bahasa Ferdinand de Saussure. Terihat dari beberapa karyanya yang mengkritik tentang fenomenologi dan linguistik. Derrida menyampaikan pandangannya terhadap pandangan Saussure mengenai definisi bahasa. Ia mengatakan bahwa Saussure memberikan esensi manusia kepada bahasa. Logosentrisme dan fonosentrisme adalah paham yang berusaha dikritik oleh Derrida. Menurutnya kelemahan logosentrisme adalah menghapus dimensi material bahasa, dan kelemahan fonosentrisme adalah menomorduakan tulisan karena memprioritaskan ucapan. Karena menurut Derrida, ujaran dianggap lebih penting daripada tulisan. Hal ini dikarenakan ujaran lebih dekat kemungkinan dengan ujaran, karena ujaran menunjukkan kesertamertaan. Dalam ujaran terdapat makna yang berada dalam kesadaran atau akal budi, terutama ketika menggunakan batin kesadaran, tentunya yang menjadi contoh nyata adalah ketika kita berbicara pada diri sendiri.
Pada tahun 1987, Derrida mengeluarkan kumpulan esainya dalam teks yang berjudul Pshyche. Dasar dari risalat ini adalah untuk menyatakan seberapa besar kemungkinan untuk membicarakan (yang lain). Menurut Derrida, sikap yang tepat terhadap (yang lain) adalah menunggu, menginginkan dan bersiap bagi masa depan, yaitu dari mana (yang lain) itu berasal (yang lain) tidak berasal dari masa kini. Untuk menjelaskan mengenai sikap menunggu dan bersiap, Derrida kembali mengutip sebuah tulisan dimana yang itu datang sebagai bencana, tidak peduli baik atau buruk, kedatangannya akan terlalu asing untuk dihasilkan oleh realita. Jadi, tidak peduli baik atau buruk, intinya adalah bagaimana kita memahami dan menerima. Seperti kata Derrida juga, jika pemahaman yang baik biasanya yang hanya akan diambil dan diaplikasikan oleh masyarakat.
Sekilas memandang beberapa karya Derrida, kiranya sudah cukup menyimpulkan bahwa hampir semua karangan yang ditulisnya merupakan komentar atas pengarang lain baik itu filsuf, ilmuwan maupun sastrawan. Tetapi komentar tersebut merupakan komentar dalam bentuk yang khusus, karena dengan cara itu pemikirannya sendiri berkembang selangkah demi selangkah. Derrida berusaha menyusun teksnya sendiri dengan membongkar teks-teks lain dan dengan demikian ia berusaha melampaui teks-teks itu dengan mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan dalam teks-teks itu sendiri.
Secara perlahan Derrida muncul tidak hanya menolak makna penanda, melainkan juga menolak dan merusaknya. Derrida muncul dengan konsep dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan sebuah metode pembacaan sebuah teks yang dilakukan dengan cermat, sehingga perbedaa-perbedaan konseptual yang dijadikan pengarang sebagai sandaran teks menjadi terbukti gagal atas dasar penggunaaanya yang inkonsisten dan paradoksal dalam teks secara keseluruhan. Secara singkat, dekonstruksi adalah strategi yang digunakan untuk mengguncang kategori dan asumsi dasar yang sudah ada sebelumnya. Dimana dekonstruksi juga digunakan untuk menghancurkan oposisi tersebut dan menunjukkan bahwa satu pengertian tergantung pada dan ada dalam pengertian yang lain
Secara skematik teori dekonstruksi Derrida terdiri dari 3 langkah; pertama, mengidentifikasi oposisi hierarki dalam teks yang biasanya terdapat peristilahan yang diistimewakan secara sistematik. Kedua, oposisi-oposisi tersebut dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan diantara yang saling berlawanan itu sekaligus mengusulkan sesuatu secara terbalik, Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru tidak bisa dimasukkan dalam kategori lama. Dengan cara membaca dekonstruksi, Deriida meminta kita untuk; pertama, mengubah pola-pola kebiasaan berfikir kita yang tertentu. Kita diminta Derrida untuk memandang sesuatu berdasarkan sudut pandang yang lain. Kedua, mengatakan bahwa otoritas teks adalah sementara, dan asal usulnya adalah jejak. Dimana dalam hal ini, kekuasaan teks adalah sesuatu yang sementara, sedangkan asal usul atau latar belakang teks adalah jejak yang selalu tidak hadir. Sehingga suatu tanda harus dibaca dengan pengertian lain (disilang), pasti selalu dimuati jejak-jejak tanda lain yang tidak pernah muncul secara utuh. Ketiga, belajar menggunakan dan sekaligus “menyilang” bahasa kita.
Sebenarnya untuk memahami pemikiran Derrida, kita juga harus memahami tentang konsep penanda dan petanda. Derrida melihat kata dan benda atau pemikiran tidak pernah menjadi satu. Penanda dan petanda memang terpisah namun selalu menyatu kembali dengan kombinasi-kombinasi baru. Penanda terus berubah menjadi petanda dan sebaliknya, hingga tidak akan pernah sampai pada petanda terakhur yang dalam dirinya sendiri bukan penanda. Dengan kata lain, Derrida mengatakan ketika membaca suatu penanda, makna tidak serta merta menjadi jelas. Makna terus menerus bergerak untuk mendapatkan makna yang tidak pernah terikat pada satu tanda tertentu. Selain itu, struktur tanda juga ditentukan oleh jejak (bisa berarti makna, jejak kaki atau cetakan) yang selalu tidak hadir. Tanda harus dibaca dalam pengertian disilang, yang selalu dimuati jejak-jeka tanda lain yang tidak pernah muncul secara utuh. Dekonstruksi memandang sebuah apel  tidak lagi hanya memiliki makna sebagai buah  melainkan juga bisa dimaknai sebagai merek elektronik, upacara, berkencan dan lain sebagainya. Lebih jauh lagi, dekonstruksi juga bekerja untuk merusak konstruksi oposisi hierarki yang telah tertanam dalam masyarakat. Cara kerjanya adalah dengan membalik oposisi biner yang telah ada, kemudian merusak makna keduanya. Menjadikan apa yang dulu lebih rendah menjadi lebih tinggi, kemudian menghancurkannya hingga akhirnya tak ada lagi oposisi biner yang tersisa.
Derrida juga menaruh perhatian pada peran dan fungsi bahasa. Ia mengembangkan metode membaca teks secara sangat cermat hingga pembedaan konseptual hasil ciptaaan penulis yang menjadi landasan teks tersebut tampak tidak konsisten dan paradoks dalam menggunakan konsep-konsepnya secara keseluruhan. Metode ini dihubungkan dengan apa yang disebut Derrida sebagai metafisika kehadiran. Derrida menganggap ujaran lebih penting daripada tulisan, karena lebih dekat dengan kemungkinan kehadiran, karena ujaran menunjukkan kesertamertaan. Dalam ujaran, makna tampak imanen, terutama ketika menggunakan suara batin kesadaran, ketika kita berbicara pada diri sendiri. Ujaran dianggap lebih dekat dengan dunia batin psikis daripada tulisan yang menyimbolkan dunia psikis secara lebih berjarak. Sedangkan tulisan tampak tidak langsung, alamiah atau tulus. Tulisan dapat dilihat sebagai turunan ujaran karena dianggap sebagai murni transkripsi fonetis. Sehingga Derrida lebih memilih ujaran karena dekat dengan batin psikis dan metafisika kehadiran.
Dari beberapa hal yang sudah Derrida ungkapkan tentang dekonstruksi, ada banyak karya sastra yang bisa dikaji, salah satunya adanya dongeng. Dongeng biasanya dikenalkan kepada anak-anak ketika memasuki dunia sekolah. Bahkan banyak orang tua biasanya membacakan dongeng sebelum tidur terhadap sang anak. Anak selalu diberi stigma yang baik untuk seorang ksatria maupun tuan putri, sedangkan tokoh penjahat ataupun nenek sihir diberi stigma yang negatif. Bahkan terkadang, anak-anak menjadikan tokoh di dalam dongeng tersebut sebagai tokoh idolanya semasa kecil.
Tokoh pahlawan secara konvensional dan terstruktur telah muncul dalam hampir semua dongeng anak-anak di seluruh dunia, baik itu Cinderella dari Eropa, Mulan dari China, bahkan Bawang Merah Bawang Putih dari Indonesia. Tokoh pahlawan mewakili sebuah konsep mengenai superhero itu sendiri sebagai simbol kekuasaan, kekuatan dan pertolongan. Konsep mengenai kepahlawanan ini melekat dan terus berkembang selama berabad-abad di dalam folklor dan cerita-cerita anak.
Dalam konsep kepahlawanan ini, terdapat sebuah oposisi biner antara pemenang dan pecundang. Oposisi ini terjadi karena suatu formula yang selalu muncul dalam sebagian besar dongeng bahwa pahlawa selau beroposisi dengan satu atau sekelompok musuh. Musuh-musuh tersebut pada akhirnya hampir selalu dapat dikalahkan sehingga membuat mereka menjadi pecundang. Pahlawan selalu lebih unggul dibandingkan dengan pecundang, maka julai terbentuklah sebuah sistem oposisi hierarki, yang menempatkan pahlawan pada posisi pertama, yaitu pemenang : pecundang.
Selanjutnya, konsep kepahlawanan menghadirkan sebuah ide mengenai harapan manusia akan satu sosok yang dapat menjadi panutan. Dengan kata lain, sosok tersebut adalah sosok yang ideal, artinya memenuhi kriteria dan standar masyarakat tertentu. Seperti misalnya sosok James Bond yang memenuhi standar masyarakat mengenai sosok ideal semua lelaki, yaitu kuat, tampan, cerdas dan memiliki kekasih yang cantik. Maka kemudian, sosok idea itulah yang akhirnya memiliki supoerioritas dalam benak masyarakat. Akibatnya tokoh lain yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut tidak mendapatkan pengakuan sebagai yang ideal sehingga termaginalkan. Misalnya saja, sosok seorang pemabuk di jalanan sangat bertentangan dengan citra James Bond yang ideal. Maka terciptalah sebuah oposisi biner antara yang ideal dan yang marjinal.
Kemudian, lebih jauh lagi, dalam konsep kepahlawanan tersebut sebenarnya terkandang sebuah dikotomi moral mengenai mana yang baik dan mana yang buruk. Dikotomi tersebut diwakili oleh keberadaaan sang pahlawan sebagai pemenang dan musuh sebagai seorang pecundang. Pandangan dan kepercayaan masyarakat mengatakan bahwa yang baiklah yang akan selalu akan menang melawan yang jahat. Artinya, dalam benak masyarakat telah terbentuk sebuah struktur yang berisikan oposisi hierarki mengenai baik : buruk. Cara pandang seperti itu diterapkan dan diinsersi dalam karya sastra, terutama karya sastra untuk anak-anak. Sastra anak, selain sebagai hiburan bagi anak-anak, dianggap sebagai media yang tepat untuk pembelajaran konsep mengenai dikotomi baik dan buruk tersebut.
Dalam dongeng Saudagar yang Serakah dari Jepang, menceritakan tentang kakak beradik yang memiliki sifat berbeda. Sang kakak (Hiroki) bersikap buruk sedangkan sang adik (Toshiro) bersikap baik. Hingga sang adik yang tak tahan lagi dengan sikap kakaknya memilih pergi dan hidup mandiri dengan istrinya. Sang kakak pun berubah menjadi saudagar kaya sedangankan sang adik berubah miskin, bahkan untuk makan saja susah. Sang adik lalu pergi ke puncak gunung dan bertemu dengan kakek yang memberinya sepotong roti gandum. Toshiro mengikuti saran kakek untuk memberikan gandum itu kepada para kerdil dan dimintanya Toshiro untuk meminta sebuah lesung batu. Ternyata lesung batu itu, bisa mengeluarkan apapun yang diminta oleh Toshiro, ia pun berubah menjadi seorang saudagar kaya. Sang kakak yang penasaran akan hal itu kemudian menyelinap mengambil lesung batu tersebut lalu mengikuti cara Toshiro agar bisa mendapatkan yang ia inginkan. Karena ceroboh, ia meminta garam ketika sedang berlayar. Jadilah garam terus keluar dan tak bisa dihentikan. Dan inilah yang diyakini orang Jepang, air laut menjadi asin.
Dalam ulasan dongeng Saudagar yang Serakah, sosok yang baik (Toshiro) digambarkan memiliki karakter dan ciri-ciri yang sesuai dengan konsep pahlawan secara konvensional, yaitu cerdas, kaya, baik hati, ramah dan selalu menghargai keberadaan orang lain. Hal ini bisa dilihat dari kutipan sedangkan adiknya bernama Toshiro mempunyai sifat sebaliknuya: rajin bekerja dan jujur hatinya. Konsep ambiguitas baik langsung melekat di dalam diri anak tentang seorang yang bernama Toshiro. Namun perusakan konsep kepahlawanan dalam cerita ini mulai dilakukan bahkan sejak baris pertama
Di sebuah desa, tinggallah dua orang kakak-beradik. Sifat kedua bersaudara ini sangat berbeda, yang tua bernama Hiroki suka berbuat sesuka hatinya dan sangat licik, sedangkan adiknya bernama Toshiro mempunyai sifat sebaliknya: rajin bekerja dan jujur hatinya. Hiroki selalu iri hati dan selalu mengasingkan adiknya. Toshiro sudah hampir tak tahan lagi tinggal  bersama kakaknya yang jahat itu
Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa konsep kepahlawanan mulai terlihat tetapi dengan memasukkan sebuah pertentangan akan baik dan buruk ke dalam sosok pahlawan itu sendiri. Sosok yang baik digambarkan memiliki sifat ideal, ternyata memiliki kecenderungan seorang musuh di dalam dirinya sendiri, yaitu kecenderungan untuk merusak. Dalam hal ini, yang dirusak adalah kehidupannya sendiri. Yang mana kemudian muncul dualisme antara baik dan buruk yang dibangun oleh dua tokoh tersebut. Seperti biasanya, anak-anak biasanya akan memilih Toshiro sebagai tokoh yang baik, dan langsung memberikan stigma yang bagus untuk Toshiro. Anak-anak kemudian hanya akan mengingat tokoh Toshiro. Konsep baik terwujud dalam identitas Toshiro yang merupakan lelaki yang rajin bekerja dan jujur hatinya, sedangkan konsep buruk diwujudkan dalam identitas Hiroki yang iri hati dan licik.
Dongeng yang lain misalnya Sang Majikan dari Eropa, yang mengisahkan tentang raksasa bernama Magnus yang memerintah orang-orang kerdil yang berada di perut bumi. Orang-orang kerdil sangat mengagungkan dan menghormati raksasa karena ia sangat kuat dan perkasa. Tiba-tiba Magnus ingin pergi melihat permukaan bumi, tetapi ia kemudian terkejut karena alam sudah mulai berubah. Karena rasa penasarannya, ia kemudian menyamar sebagai seorang manusia. Magnus melakukan berbagai pekerjaan, mulai dari buruh, peternak sapi, dan hakim kota. Namun ia kecewa dengan manusia, yang memperlakukannya dengan tidak baik. Akhirnya ia memilih kembali lagi ke perut bumi. Namun demikian, dia tidak mau mengundang rakyatnya untuk tinggal di istananya yang luas. Magnus mengganggap bahwa rakyatnya tak bekerja sekeras dirinya waktu menjadi manusia, jadi tak perlu memperlakukan mereka lebih baik daripada yang sudah-sudah.
Dongeng Sang Majikan dari Eropa mengandung pesan bahwa pekerjaan akan tersasa lebih berat jika kita sendiri yang mengerjakannya, dibanding apabila kita hanya memerintah saja. Sedikit sekali orang yang mau menyadari kesalahannya. Dari ringkasan di atas, terlihat bagaimana sosok Magnus sang raksasa. Walaupun dia seorang raja, namun ia tetap memperlakukan orang kerdil sebagaimana mestinya. Seperti pada kutipan
Meskipun demikian, Magnus memiliki hati yang baik. Sehingga orang-orang kerdil itu berpikir, lebih baik bekerja untuk Magnus daripada majikan lain ang mungkin lebih kejam.
Dari kutipan di atas, anak-anak langsung diberi stigma tentang seorang raksasa yang baik. Biasanya, dari kebanyakan dongeng yang ada, raksasa itu bersikap buruk dan menakutkan. Misalnya saja Timun Mas,yang mana sang raksasa justru berusaha melukai Timun Mas yang sudah beranjak dewasa. Tetapi raksasa juga memiliki sikap baik, yaitu dengan membiarkan Timun Mas hidup dalam asuhan seorang manusia.
Berbicara soal Magnus, selain mempunyai sisi baik yang dinilai oleh para kerdil, ternyata pemikiran Magnus juga menpunyai sisi buruk, terlihat dalam kutipan
“Aku kecewa dengan manusia. Mereka adalah makhluk-makhluk yang paling mengerikan, “ kata Magnus dalam hati. “Aku akan kembali ke istanaku di perut bumi. Di sana aku akan menjadi majikan yang baik, tidak seperti manusia yang serakah ini.
Akhirnya Magnus kembali ke wujudnya yang semua dan kembai ke perut bumi. Namun demikian, dia tidak mau mengundang rakyatnya untuk tinggal di istananya yang luas dan megah, atau memberi mereka makanan lezat seperti yang dimakannya.
“Rakyatku tidak bekerja sekeras diriku ketika aku menjadi buruh di masyarakat manusia. Jadi... aku tak perlu memperlakukan mereka lebih baik dari yang sudah-sudah.
Dari beberapa kutipan tentang dongeng Sang Majikan yang bercerita tentang raksasa bernama Magnus, dongeng tersebut mencoba mendekonstruksikan konsep kepahawanan dengan memasukkan pertentangan baik dan buruk ke dalam sosok Magnus. Magnus yang digambarkan memiliki sifat yang ideal yaitu kaya raya dan seorang penguasa ternyata memiliki kecenderungan seorang musuh dalam dirinya sendiri, yaitu kecenderungan untuk merusak. Dalam hal ini, yang dirusak adalah kehidupannya sendiri. Sosok Magnus dalam dongeng ini besifat ambivalen, artinya ia memiliki kepribadian yang dapat dijadikannya modal untuk menjadi pemenang, namun jati dirinya yang sebenarnya adalah ia yang serakah dan memilih untuk mematikan emosi dan perasaannya. Konsep baik terwujud dalam identitas Magnus yang merupakan seorang pemimpin dan kaya raya, sementara konsep buruk diwujudkan dalam perilakunya serakah.
Dekonstruksi konsep kepahlawan juga bisa diaplikasikan dalam nove Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Dimana sebetulnya bisa dimaknai sebenarnya Samsul Bahri lah yang berada di pihak Belanda ketika terjadi pertempuran dengan rakyat Padang. Disisi lain Datuk Maringgih yang dianggap sebagian masyarakat memiliki konsep buruk, pada akhirnya Datuk Maringgih adalah pahlawan (hero) yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena partisipasinya kepada perjuangan melawan Belanda, terlepas dari cara liciknya mendapatkan Siti Nurbaya. Samsul Bahri sendiri adalah pengkhianat negara dan perusak perkawinan orang sehingga lebih layak disebut sebagai penjahat.
Sebenarnya masih banyak dongeng lain yang bisa dipahami dengan dekonstruksi. Cinderella misalnya, yang menceritakan gadis miskin yang kemudian menikah dengan pangeran atau Bawang Merah Bawang Putih, yang juga bercerita tentang gadis miskin yang akhirnya juga menikah dengan pangeran. Dua tokoh putri dalam dongeng tersebut memiliki konsep baik, sedangkan tokoh lainnya bisa dikatakan dalam konsep yang buruk. Padahal di sisi lain, tokoh sang putri juga memiliki sifat buruk namun tidak terlihat atau bahkan hanya tersirat sehingga anak-anak hanya mengambil sosok putri yang cantik, baik, anggun dan suka menolong. Justru yang mereka konsep buruk adalah sang penyihir yang selalu ingin mencelakai sang putri.
Seperti tokoh poststrukturalisme yang lain, Derrida mencoba menawarkan metode dekonstruksi sebagai alternatif problem modernitas yang telah dianggap gagal. Sasaran utama dari proyek dekontruksinya adalah membongkar sifat totaliter dari sistem, terutama yang tercermin dalam bahasanya. Menurutnya, metafisika dan epistemologi Barat selama ini telah didominasi oleh logosentrisme dan metafisika kehadiran karena itu harus didekonstruksi.
Serangan dekonstruksi Derrida membebaskan dua konsep yang mendominasi filsafat yakni konsep totalitas dan esensi, sehingga menghasilkan kebenaran yang partikular, unik dan relatif. Dengan demikian, keberanian diakui keberadaannya. Kesulitan yang akan dihadapi oleh Derrida adalah bahwa ia terjebak dalam ambiguitas yang mengarah pada sesuatu yang dianggap tidak ada atau kosong.
Namun demikian, terlepas dari berbagai kontroversi, Derrida adalah salah satu dari sedikit filsuf yang berpengaruh demikian luas dalam berbagai bidang. Pemikiran-pemikiran yang dihasilkan Derrida adalah sangat orisinil dan unik, waaupun terkadang aneh dan sulit dimengerti dengan nalar sederhana. Pada intinya, untuk memahami Derrida harus sedikit memutar otak untuk memahami apa yang ingin disampaikan oleh Derrida. Namun apabila menilik bagaimana kesejajaran dengan berbagai gerakan dan gelombang perubahan yang ada, kiranya terbukti jika konsep yang dicetuskan oleh Derrida sangat relevan dalam berbagai bidang.
Begitulah teori dekonstruksi Derrida mencoba masuk dan merusak beberapa anggapan banyak orang. Biasanya masyarakat hanya memandang sesuatu dari satu sudut pandang sedangkan ada sudut pandang lain yang mestinya bisa dilihat sebagai suatu pembelajaran. Sastra anak, terutama tentang dongeng akan menumbuhkan sosok yang dikagumi dan bahkan menjadi tolok ukur bagi seorang anak kecil.

Daftar Pustaka

Bahrur. 2009. Jacques Derrida dan Proyek Dekonstruksi. www.bahrurr.blogspot.com diunduh pada 5 Januari 2015
Handout Teori Postrukturalisme Wiyatmi Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS  NEGERI YOGYAKARTA
Ikranegara, Tira. 2009. Dongeng Anak-anak Sedunia. Surabaya: Serba Jaya

Khumaedi, Teddy. 2013. Jacques Derrida: Teori Dekonstruksi. www.teddymagister.wordpress.com diunduh pada 5 Januari 2015

Komentar

Postingan Populer