Aliran Seni Formalisme
ALIRAN SENI FORMALISME
1.
Pengertian Teori Formalisme
Secara etimologis formalisme berasal dari kata forma (latin), yang berarti bentuk atau
wujud. Dalam ilmu sastra, formalisme adalah teori yang digunakan untuk
menganalisa karya sastra yang mengutamakan bentuk dari karya sastra yang
meliputi tehnik pengucapan –meliputi ritma, rima, aquistik/bunyi, aliterasi,
asonansi dan sebagainya, kata-kata formal (formal
words) dan bukan isi serta terbebas dari unsur luar seperti sejarah,
biografi, konteks budaya dan sebagainya sehingga sastra dapat berdiri sendiri
(otonom) sebagai sebuah ilmu dan terbebas dari pengaruh ilmu lainnya. Teori
formalis ini bertujuan untuk mengetahui keterpaduan unsur yang terdapat dalam
karya sastra tersebut sehingga dapat menjalin keutuhan bentuk dan isi dengan
cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dan sebagainya.
2. Tokoh Teori Formalisme
Tokoh teori formalisme berasal dari
Rusia yang menamakan dirinya Opayaz, berkembang sekitar tahun 1914-1930.
Teoritis formalisme yang sangat terkenal adalah
a.
Victor Shklovsky,
Victor Sjklovski mengemukakan bahwa , sifat kesastraan muncul
sebagai akibat penyusunan dan penggubahan bahan yang semula bersifat netral.
Para pengarang menyulap teks-teks dengan efek mengasingkan dan melepaskannya
dari otomatisasi. Proses penyulapan oleh pengarang ini disebut defamiliarisasi,
yakni teknik membuat teks menjadi aneh dan asing atau teknik bercerita dengan gaya bahasa yang menonjol dan menyimpang dari
biasanya. Dalam proses penikmatan atau pencerapan pembaca, efek deotomatisasi
dirasakan sebagai sesuatu yang aneh atau defamiliar. Proses defamiliarisasi itu
mengubah tanggapan kita terhadap dunia. Dengan teknik penyingkapan rahasia,
pembaca dapat meneliti dan memahami sarana-sarana (bahasa) yang dipergunakan
pengarang. Teknik-teknik itu misalnya menunda, menyisipi, memperlambat, memperpanjang,
atau mengulur-ulur suatu kisah sehingga menarik perhatian karena tidak dapat
ditanggapi secara otomatis.
b.
Boris Eichenbaum,
Boris Eichenbaum memberi penegasan, kaum formalis dipersatukan
oleh adanya gagasan untuk membebaskan diksi puitik dari kekangan
intelektualisme dan moralisme yang diperjuangkan dan menjadi obsesi kaum
simbolis. Mereka berusaha untuk menyanggah prinsip-prinsip estetika subjektif
yang didukung kaum simbolis (yang bersandar pada teori-teorinya ).
c.
Roman Jakobson,
Roman Jakobson lahir di Moskow pada tahun 1896, seorang tokoh formalisme
Rusia yang meninggal pada tahun 1982. Pada tahun
1914 dia memasuki Fakultas Historiko-filologis di Universitas Moskow dan
bahasa jurusan Slavia
dan Rusia. Pada tahun 1915, dia mendirikan
lingkungan linguistik di Moskowyang
terpengaruh oleh pemikiran Husserl. Akhir 1920, dia meninggalkan Moskow dan tinggal di Praha dan pada tanggal 1930-an dia sempat
bekerja sama dengan Nikolai Trobetskoy yang mengarahkan Jakobson pada gagasan
suara dalam bahasa berfungsi sebagai diferensial. Pada tahun 1929 Jakobson menerbitkan catatan tentang evolusi
fonologi bahasa Rusia
dibandingkan bahasa Slavia
lainya. Pada tahun 1930 dia berkelana ke Swedia
dan Denmark. Disinilah Jakobson dalam meneliti karier sebagai saorang
ahli linguistik abad 20-an yang mendasarkan pemikirannya pada fungsi puitik dan
fungsi estetik.
Pemikiran awalnya yang paling harus diingat
adalah penekanannya pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh
gambaran metaforis retoris ( kesamaan)
danmetanomi (kesinambungan). Baginya bahasa merupakan bentuk interaksi
antara langue (struktur atau kode)
dan parole (tindak
wicara) yang berlangsung terus menerus, yang oleh sebagian para ahli linguistik
diberi istilah shifter atau yang berfungsi
sebagai satu kemampuan terakhir dikuasai oleh anak dalam proses belajar bahasa.
d.
Yury Tynyanov .
Boris Eichenbaum memberi penegasan,
kaum formalis dipersatukan oleh adanya gagasan untuk membebaskan diksi puitik
dari kekangan intelektualisme dan moralisme yang diperjuangkan dan menjadi
obsesi kaum simbolis. Mereka berusaha untuk menyanggah prinsip-prinsip estetika
subjektif yang didukung kaum simbolis (yang bersandar pada teori-teorinya
Alexander Potebnya, seorang filologis Rusia yang terpengaruh Willhelm von
Humboldt) dengan mengarahkan studinya itu pada suatu investigasi saintifik yang
secara objektif mempertimbangkan fakta-fakta. Di sisi ini, buah pikir dan
gagasan kaum formalis tidak bisa dilepaskan dari keberadaan para penyair
Futuris Rusia yang kemunculan karya-karyanya pun merupakan reaksi untuk
melakukan perlawanan terhadap poetika kaum simbolis tersebut.
3. Ruang Lingkup Teori Formalisme
Ruang lingkup teori formalisme meliputi
karya sastra itu sendiri serta unsur intrinsik yang membangunnya. Ruang lingkup
tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan literature devices untuk mengetahui plot/alurnya. Dalam hal ini
menganalisa komponen-komponen linguistik yang tersedia di dalam bahasa
(fonetik, morfem, sintaksis, maupun semantik, begitu pun halnya dengan ritma,
rima, matra, akustik/bunyi, aliterasi, asonansi, dan sebagainya). Sepanjang hal itu ada
dalam karya sastra sebagai sarana untuk mencapai tujuan “artistik” yang
merupakan sebuah cita rasa sebuah karya sastra.
4. Konsep Teori Formalisme
Konsep yang mendasari studi kaum atau tokoh formalisme
ialah tidak berfokus pada “bagaimana sastra dipelajari” melainkan “apa
yang sebenarnya menjadi persoalan pokok dari studi sastra itu sendiri”. Konsep
formalisme sebagaimana yang katakan oleh Jakobson “objek ilmu sastra bukanlah kesusastraan
melainkan kesastraannya yaitu yang menjadikan sebuah karya bisa disebut
sebagai karya sastra.” Boris Eichenbaum juga mengatakan bahwa karakteristik dari
kaum formalis hanya berusaha mengembangkan ilmu sastra secara tersendiri, yang
studinya lebih dikhususkan pada bahan - bahan kesastraan.;mereka hanya
menyarankan untuk mengenali fakta – fakta teoritis yang tersimpan dalam seni
sastra. Itulah perkataan dari beberapa para tokoh formalis.
Konsep Formalisme juga menganggap penting berbagai ragam bahasa. Para tokoh membedakan antara
ragam bahasa puitik dengan bahasa praktis/prosaik dan ragam bahasa puitik
dengan bahasa emotif/emosional. Bagi tokoh formalis, pembedaan tersebut menjadi sangat
penting karena masing-masing ragam (pemakaian) bahasa itu memiliki dan
menyediakan konteks/tujuan, fungsi, nilai, dan hukum-hukumnya sendiri.
Konsep Formalisme selanjutnya ialah gagasan mengenai teknik
berhubungan dengan bentuk. Maksud dari konsep ini ialah bahwa persepsi bentuk
merupakan hasil dari pemikiran dan pengamplikasian teknik – teknik artistik
khusus yang memaksa pembaca untuk memperhatikan kehadiran bentuk
tersebut. Bentuk dengan menggunakan teknik artistik akan memunculkan
kesan pada pembaca. Selain untuk kebutuhan artistik, keberadaan teknik pun
dibutuhkan untuk membuat objek yang ingin dideskripsikan.
Selanjutnya, konsep Formalisme menganggap bahwa plot
merupakan posisi sebagai struktur. Teori menganai fiksi dan plot perlu
diketahui sebagai gagasan yang cukup penting yang dikemukakan oleh para tokoh
formalis. Konstruksi plot menjadi subjek dasar yang menyimpan kekhasan pada
seni naratif. Salah satu tokoh formalis, Victor Shklovsky, mengatakan bahwa
cerita hanya untuk memformulasikan plot, sementara plot itu sendiri menempati
posisinya sebagai struktur.
5. Tujuan Formalisme
Tujuan utama
formalisme adalah studi ilmiah mengenai sastra. Hal ini didasarkan pada
keyakinan para formalis bahwa studi seperti itu sangat mungkin dan
memang pantas dilakukan. Kaum formalis yakin bahwa studi-studi mereka
akan meningkatkan kemampuan pembaca untuk membaca
teks-teks sastra dengan cara yang tepat, yaitu dengan memperhatikan sifat-sifat
teks yang dianggap ‘artistik’ dan ‘sastrawi’. Dalam hal ini Sklovki
tertarik pada ‘hukum bahasa puitik’; Jakobson menekankan pentingnya
‘ilmu sastra’ sementara Tynjanov mengungkapkan bahwa untuk menjadi
cabang ilmu tersendiri, sejarah sastra harus mengajukan tuntutan atas keterandalan
(realibility).
Roman Jakobson memandang teori sastra
dan puitika sebagai bagian integral linguistik. Pandangannya bahwa puisi adalah
bahasa dalam fungsi estetis dipublikasikan pada tahun 1921. Empat puluh tahun
kemudian, pendirian ini diulangi dalam bentuk yang agak berbeda dalam esainya
mengenai “Linguistik dan Puitika” (1960).
Dengan demikian Literariness yang
berhubungan dengan penggunaan bahasa di dalam karya sastra ini merupakan fokus
kaum formalis. Mereka beranggapan bahwa bahasa sastra tidak sama dengan bahasa
praktis yang digunakan sehari-hari. Hal ini seperti diungkapkan Jakobson bahwa
subjek ilmu sastra bukan kesusastraan, tetapi literariness, yaitu yang
membuat suatu karya sebagai karya sastra. Literariness berhubungan
dengan penggunaan bahasa di dalam karya sastra dan ini merupakan fokus kaum
Formalis. Mereka beranggapan bahwa sastra tidak sama dengan bahasa praktis yang
digunakan sehari-hari. Kaum formalis dituntut untuk memperlakukan kesusastraan
sebagai satu pemakaian bahasa yang khas, yang mencapai perwujudannya lewat
deviasi dan distorsi dari bahasa praktis. Bahasa praktis digunakan untuk
komunikasi, sementara bahasa sastra tidak mempunyai fungsi praktis sehingga
membuat kita melihatnya secara berbeda.
Kaum formalis cenderung untuk mengkaji
teks sastra secara formal, yaitu dalam kaitannya dengan struktur bahasa. Bentuk
karya sastra itu memperoleh kekhususannya dari unsur-unsur yang membangunnya,
yakni sejumlah sarana yang mempersulit komunikasi (devices of making it
strange). Sarana ini meliputi bunyi seperti rima, matra, irama, aliterasi,
dan asonansi. Keseluruhan sarana itulah yang sesungguhnya menimbulkan sifat
kesastraan sebuah teks sastra. Singkatnya, yang membedakan kesusastraan dari
bahasa praktis adalah kualitas yang dibangunnya. Kaum formalis mempergunakan
bahasa sastra secara menginti di dalam puisi.
Kesimpulan
Teori formalisme merupakan salah satu teori sasta yang ruang lingkupnya
meliputi karya sastra itu sendiri serta unsur intrinsik yang membangunnya. Ruang
lingkup tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan literature devices
untuk mengetahui plot/alurnya. Dalam hal ini menganalisa komponen-komponen
linguistik yang tersedia di dalam bahasa (fonetik, morfem, sintaksis, maupun
semantik, begitu pun halnya dengan ritma, rima, matra, akustik/ bunyi, aliterasi, asonansi, dan sebagainya.) sepanjang hal itu ada dalam karya sastra sebagai
sarana untuk mencapai tujuan “artistik” yang merupakan sebuah cita rasa sebuah
karya sastra.
Sumber dan Referensi
Teeuw (2003) Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: PT Kiblat Buku Utama
Komentar
Posting Komentar