Batas Tepi Seorang Sahabat
Inilah waktu yang kumau. Inilah
senja yang aku tunggu. Tenang dan sunyi yang begitu jauh dari keramaian. Langit
mendung seolah menambah kegelisahan kuuntukmu. Kutengadahkan kepala ke atas,
melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Mataku mulai nanar ketika bayangan masa
lalu singgah dalam pikiranku. Adi, itulah nama yang selalu berkeliling dalam
pikiranku. Seolah kuselalu berharap agar Adi menjadi nyata dan menemaniku.
I
Suara petir pun mengagetkan ku dari
kenangan masa lalu itu. Perlahan rintik hujan mulai membasahi bumi yang sempat
layu. Aku mendongak ke atas merasakan titik-titik air hujan yang perlahan
menyegarkanku.. Aku yakin ini akan berakhir, tak ada lagi penantian dan
khayalan karena yang kan ada adalah kebahagiaan dan kenyataan.
Kecipak air mengiringi langkah kaki
kecil ku yang berlari pelan. Genangan air yang menggenang kuterobos begitu
saja. Tak peduli dengan keadaaan disekeliling ku. Yang penting aku harus segera
sampai di kost sebelum hujan semakin deras. Disisi jalan kulihat sepasang muda
mudi sedang bercengkerama menikmati hujan. Begitu indah, pikirku dalam hati.
Dengan keadaan basah kuyup,
sampailah aku di kost. Ku buka pintu kamar dengan segera, terlihat ukiran
berbentuk 19 Desember yang menyapaku. Ukiran itu yang membuatku selalu berharap
dan semangat untukmu. Jelek, itu nama panggilan sayangku untukmu Adi. Pikiran
kumelayang ke beberapa bulan yang lalu. Membuka kembali memori otakku akan
dirimu.
Aku yang sedang sendu setelah
ditinggal kekasih menikah, menghabiskan waktuku di dunia maya. Mencari teman
yang sebanyak-banyaknya untuk melupakannya. Entah berapa lama aku dalam keadaan
terpuruk, sampai akhirnya sapaan hangat tiba-tiba terlontar dari pesan-pesan
mayamu. Aku suka dengan perhatianmu dan sapaan kecilmu. Perlahan tapi pasti
kita semakin mengenal satu sama lain. Rasa jatuh cinta pun bergelayut dalam
pikiranku. Aku hanya berharap kamu juga punya perasaan yang sama denganku.
Pucuk diulam pun tiba, kasih sayangku padamu tak bertepuk sebelah tangan karena
kamu juga mempunyai perasaan yang sama denganku. Hari demi hari kita lewati
dengan banyak kenangan yang tak bisa dilupakan. Namun begitulah cinta kita, hanya
sebatas maya. Terbatas jarak antara Jogjakarta dan Ponorogo. Tak pernah nyata adanya, hanya yang kutahu sayang kita
selalu nyata dalam pikiran kita. Nama mu Adi, yang akan selalu ada di hatiku.
Aku pun berjalan mengambil notebook
ku, segera kunyalakan dan kusambungkan ke internet. Ku bolak balik laman demi
laman untuk mencari tahu kabarmu, namun yang kudapatkan hanya kesia-siaan
belaka. Entah tak tahu dimana dirimu. Adi, aku sungguh merindukanmu. Suara
dering telepon menyadarkanku dari sebuah kesunyian, segera aku angkat telepon
“Halo?”
begitu sapaku
“Halo Nina, apa kabar?” balas suara
di seberang
“Kabar
baik, dengan siapakah ini?” balasku sekenanya
“Ini
aku Nin, Lingga!” sahut suara
di seberang
“Hah??
Lingga …. Lingga yang itu kan??” teriak ku kaget
“Iya,
aku Lingga, teman kecil mu yang dulu selalu mengikutimu ke mana saja!” kata Lingga
di sana
“Ah
Lingga, lagi di mana kamu?” tanyaku
“Aku
di Jogja nich, kamu ada di mana?” sahut Lingga
“Jogja???aku
lagi di Jogja. Aku kuliah di Jogja Ling!” kataku
“Wah
kebetulan, ayo kita jalan-jalan!” balas Lingga
“Emmm
boleh saja, jemput aku yah di tempat kuliah besok” kataku
Tak berapa lama setelah itu, telepon
pun berakhir. Ah Lingga, sosok kecil yang dulu slalu ada untukku. Aku dan
Lingga bersahabat sejak kecil, namun menginjak sekolah menengah atas kita
berpisah. Lingga terpaksa ikut orang tuanya yang ditugaskan di Bandung. Ada
kesedihan yang cukup mendalam ketika dia pergi. Perlahan aku pun mulai
menjalani kehidupan ku tanpa kehadiran Lingga. Hingga aku lulus pun aku tak
tahu gimana kabar Lingga sekarang. Baru kali ini aku berhubungan lagi dengan
Lingga.
II
Suara lengkingan klakson pun
mengagetkanku ketika ku melangkah keluar kampus. Aku pun segera menoleh,
ternyata seorang laki-laki gagah dari dalam mobil itu melambaikan tangan
padaku. Segera kuhampiri dan kulihat wajah sahabat kecilku yang kini telah jauh
lebih berubah, lebih dari dulu.
“Lingga???”
sapaku kaget
“Iyah
Nina!” balas Lingga
santai
“Kamu
berubah, sampai aku gag bisa ngenalin kamu?” kataku
“Hehe,
maklum lah saya tambah ganteng!” tawa Lingga renyah
“Ish
kamu ni, tetep sama seperti dulu ya!” balasku
“Udah
ayo cepet naik!” kata Lingga
Segera saja ku naik ke mobil Lingga,
sambil bercengkerama ria mengulang masa kecil. Lingga bercerita tentang banyak
hal yang ia alami selama ini tanpa kehadiranku. Aku hanya tersenyum kecil
mendengar cerita Lingga. Wajah yang dulu aku kenal sekarang sudah berubah
menjadi sosok yang dewasa dan lebih bijaksana.
Akhirnya sampailah kami di salah
satu puncak Yogyakarta, Kaliurang. Kami bermain selayaknya anak kecil, melepas
rasa kangen yang selama ini ada. Lingga menjagaku dan tak membiarkanku terlihat
sedih. Karena lelah akhirnya kami berhenti di salah satu rumah makan yang
terdapat disana. Hingga akhirnya Lingga menanyakan sesuatu
“Nina, bagaimana dengan
pacar kamu sekarang?” tanya Lingga tiba-tiba
“Ah,
aku tak ingin membahas hal itu!” sahutku malas
“Ayolah
Nin, aku ingin tahu
ceritamu!” rengek Lingga manja
“Emm
baiklah aku akan cerita tetapi kamu juga cerita yah” balasku
Lingga
pun mengangguk pelan. Akhirnya aku menceritakan semua dari awal, tentang perkenalanku
dengan Adi, masa-masa indahku bersama Adi sampai akhirnya perpisahanku dengan
Adi. Setetes air mata membasahi wajahku, perlahan Adi mengusap nya dengan
lembut.
“Jangan
menangis Nina
sayang, hapus air mata itu dari wajah ceriamu. Aku kangen Nina yang slalu ceria”
kata Lingga lembut
Ucapan “sayang” Lingga membuatku
terhenyak kaget, belum pernah aku dengar kata-kata Lingga yang sebegitu
lembutnya. Lingga menenangkan pikiranku dengan genggaman tangannya yang begitu
lembut. Kemudian Lingga pun mulai bercerita tentang kehidupannya selama ini di
Bandung. Mulai dari sekolah sampai perjalanan cintanya. Yang kuketahui adalah
Lingga pernah berpacaran namun tak bertahan lama, karena ada orang lain yang
benar-benar Lingga sayangi. Kutanyakan padanya siapa gerangan orang yang
beruntung itu, Lingga hanya tersenyum simpul.
III
Hari-hari pun kulewati bersama
Lingga, pergi kemana pun yang kita suka. Sampai suatu ketika aku terbaring
sakit di kamar karena kehujanan ketika pulang dari kampus. Berhari-hari tubuhku
terasa lemas tak mampu apa-apa, aku pun benar-benar istirahat total. Lingga pun
selalu menjagaku, membuatku selalu tersenyum karena celotehan lucunya.
Beberapa hari kemudian kesehatan ku
kembali prima, aku pun ingat hari ini hari terakhir aku bersama Lingga karena
besok ia harus segera kembali ke Bandung. Aku pun mengajak Lingga ke kebun
binatang yang ada di Jogja, berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain.
Karena sudah lelah kami pun berhenti di sebuah gazebo
“Nina, makasih ya atas
beberapa minggu ini. Aku seneng banget” kata Lingga singkat
‘Iya
sama-sama” balasku
Aku pun terdiam sejenak, menatap
wajah ceria Lingga. “Ah rasanya berat jika Lingga harus kembali ke Bandung, aku
pengin Lingga tetap disini, menemaniku” batinku dalam hati.
“Lingga
besok jangan nakal yah kalau di Bandung, sering-sering kasih kabar dan jangan
lupa ke sini lagi!” kataku memberi wejangan
“Iyah
Nina bawel!” balas
Lingga seraya mencubit pipiku
“Aisshh
sakit tau” kataku cemberut
“Gitu
aja marah to? Mau tahu gag cewek yang sampai sekarang aku sayangi” kata Lingga
“Siapa?Siapa?”
tanyaku tak sabaran
“Kamu!”
kata Lingga singkat
IV
Keesokan harinya, Lingga pun
bergegas meninggalkan kota Jogjakarta. Namun disempatkannya datang menemuiku,
untuk menjelaskan tentang perkataan yang kemarin.
“Nina…” panggil Lingga
seraya anak kecil di depan rumah ku
“Iyah
sebentar” teriakku dari dalam rumah
Segera
ku bergegas membuka pintu, kulihat wajah sayu Lingga seperti kurang tidur.
Seraya mengajakku masuk ke dalam mobil untuk ke stasiun.
“Rina,
maaf soal perkataan ku kemarin. Tapi aku hanya mengungkapkan apa yang aku
rasakan. Selama di Bandung tak pernah bisa aku lepas dari bayangan mu. Selalu saja
kamu yang aku harapkan. Rina aku sayang sama kamu” jelas Lingga
Mendengar
pernyataan seperti itu, aku terdiam cukup lama. Ada sedikit bayangan tentang
Adi melintas di benakku, namun seakan aku sudah tak peduli dengan Adi. Tanpa aku sadari ternyata selama ini yang aku
butuhkan adalah Lingga.
“Lingga,
aku juga sayang sama kamu. Tapi kita akan terpisah lagi oleh jarak, aku takut
Ling” jawabku pelan
“Tak
usah takut sayang. Aku akan secepatnya mengurus kepindahanku di Jogja. Tak
kubiarkan kamu lepas lagi” kata Lingga meyakinkanku seraya mengecup manis
jemariku
Aku pun mengangguk pelan, tanda aku
percaya akan Lingga. Lingga pun segera merengkuh badanku dalam pelukan
hangatnya. Mata kami pun beradu satu sama lain menahan detak getar di dada.
Lingga meraih dagu ku dan mendaratku sebuah kecupan
manis di bibir ku. Tak ingin kulepaskan rasanya jika tak mendengar deru suara
kereta.
“Jaga
diri kamu baik-baik. Aku akan segera kembali untukmu” kata Lingga lagi
Aku pun hanya terdiam, menatap nanar
kepergian Lingga. Kuharap dia kembali dengan tetap seperti biasanya. Seiring
dengan berjalannya waktu yang merangkak dalam batas senja, aku pun mengiringi
kepergian Lingga dengan senyuman hangat.
Dari sahabat menjadi cinta, dari suka menjadi rasa
kasih sayang.Ah Lingga kau pencerah dalam hidupku. Ku berharap ini akan selalu
selamanya dan tak akan berubah. Nina
sayang Lingga. Lingga sayang Nina.
Itulah sedikit yang kutulis dalam
buku harianku. Kujalani hari-hariku dengan Lingga di sana. Beberapa bulan
setelah kepergian Lingga, ia pun kembali untukku. Disini untuk menemaniku dan
menyayangiku dengan sepenuh hatinya selalu.
Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar